Kamis, 27 September 2012

HIJRAH 4 DIMENSI


 “Hahahaha….kekufuran apalagi yang tidak aku tiupkan???” aku terus melenggang dari satu tempat ke tempat yang lain.
“Kekufuran apalagi yang tidak aku sisipkan???” aku pun terduduk sambil menghitung.
“Kekufuran apalagi yang tidak aku hembuskan???” aku mulai mengingat.
“Kekufuran apalagi yang tidak aku bisikkan???” dan aku mulai menceracau.
“Ini memang sudah tugasku, sejak dulu memang begitu. Tapi, bukankah tidak seharusnya mereka menyalahkan diriku? Aku hanya berlaku sebagai pengajak, dan bukan sebagai pemaksa.”
Ia lahir dengan memiliki tanda keagungan, bukan ia yang meminta seperti itu. Dan sebelum kelahirannya pun ia sudah menjadi yang terkasih. Namun sejak itu, tugasku pun mulai menjadi berat. Aku yang telah memperdaya jutaan bahkan lebih umat manusia dengan segala macam kenikmatan yang mereka peroleh secara instan, kini harus mulai menyusun strategi seolah hendak berperang menghadapi seorang anak manusia yang kelahirannya akan menjadi pengubah rasio umat manusia sebelumnya.
 Sejak ia lahir, sekalipun tanpa seorang ayah yang menanti proses lahirnya. Ya, ia seorang anak yatim yang sejak lahirnya tidak pernah mengenal wajah bapaknya. Ia pun diasingkan ke daerah pedalaman, bukan maksud hati sang bunda ingin membuang melainkan menjaganya dari hawa jahiliyah masyarakat Quraisy. Sejak kecilnya, ia terpelihara walau tanpa pengawasan kedua orang tua.
Ia tidak pernah mengeluh kesah, masa kecilnya ia habiskan bersama sang kakek yang memiliki kewibawaan luar biasa karena sang bunda pun akhirnya meninggalkannya hingga lengkaplah ia menjadi seorang yatim piatu. Ia tak pernah bersedih, karena sang kakek amat sangat mencintainya. Tapi itu tidak berselang lama, sang kakek pun menyusul kedua orang tuanya. Maka, tinggallah ia bersama sang paman yang menyayanginya tanpa pamrih.
Kejahatan ini harus aku sisipkan di dalam tubuhnya, namun ia selalu dijaga dengan kekuatan yang Maha Dahsyat. Jika terus seperti ini, tugasku akan terbengkalai.
“Akankah ia tergoda dengan harta dagangan yang dititipkan kepadanya oleh saudagar janda nan cantik rupawan???”, aku pun mulai melancarkan jurus-jurus maut yang menggoda agar ia mau mengikutiku.
“Sungguh Amin …. tanpa gaya iming-iming seorang penjual ia mampu menjual dagangan titipan tersebut hingga terjual habis. Darimana ia belajar berniaga? Sedang, sejak kecil ia hanyalah seorang penggembala miskin” aku terus berujar sendiri.
Kini ia mulai menghembuskan nilai-nilai moral kepada manusia yang mulai memunggungiku, satu persatu dan tidak ada keraguan dari mereka terus mengikuti jejaknya. Dan lama kelamaan aku mulai merasa tersingkir dengan kehadirannya.
“Aku tidak akan tinggal diam….!!! Aku pun mulai menyisipkan rasa ketidaksenangan kepada tetangganya yang tidak mau mengikuti jejaknya. Dan kepada mereka aku sisipkan kejelekan-kejelekan yang seolah-olah berasal darinya, agar ia terusir dari tanah kelahirannya sendiri.
Iringan para muhajirin pun nampak menjauh mencari kota baru yang dijanjikan keamanannya. Dan ia bersama para pengikutnya mulai menyusun strategi untuk memperluas wilayah mereka dan memberdayakan masyarakat setempat.
Kan ku tanamkan kebencian ke dalam lubuk hati manusia yang lemah, mereka yang selalu tidak pernah mau menghargai arti dari keberadaan seseorang, mereka yang tidak pernah mengenal rasa syukur, mereka yang selalu tamak, haus akan kekuasaan, mereka yang hanya selalu berangan-angan.”
Tiba saat yang amat kalut, menggalaukan hatinya dengan penuh kesedihan. Sang istri yang selalu menemani dan menjadi ibu bagi keturunannya, pergi meninggalkannya untuk selamanya. Di tahun yang sama, sang paman yang selalu melindunginya pun pergi meninggalkannya.
“Bukankah ia merupakan yang terkasih? Mengapa ia yang tidak mampu diperdaya olehku, harus merasakan kesedihan itu?”
Untuk mengurangi rasa kesedihannya, ia mendapat tiket perjalanan gratis sampai langit ke tujuh. Ia diperjalankan dengan kekuatan yang ekstra cepat, dan dengan kekuatan yang Maha Dahsyat. Dari perjalanannya itu ia membawa oleh-oleh yang katanya untuk manusia yang selalu mengikutinya dan selalu mendengarkannya. Oleh-oleh tersebut merupakan sarana ibadah yang katanya disebut dengan shalat lima waktu.
“Hahaha...satu lagi jalan yang menuntunku untuk mecari pengikutku. Akan ku tanamkan rasa malas pada umat manusia dalam pelaksanaan shalat lima waktu. Akan ku buat mereka enggan bangun tidur di waktu shubuh. Akan ku buat mereka sibuk dengan pekerjaan mereka di waktu dzuhur. Akan ku buat mereka merasa lelah karena bekerja di waktu ashar dan maghrib. Akan ku buat mereka mengantuk dan tidur di waktu isya. Hahaha...mereka akan terjerat kali ini!!!”
Umat yang mengaku beragama Islam pun mengikuti perintahnya untuk melaksanakan shalat lima waktu, namun di antara kesemuanya akan aku sisipkan pada sebagian kecil mereka yang lengah akan keimanan. Mereka boleh saja mengaku berislam, tapi belum tentu mereka beriman. Dan aku bisikkan rasa malas itu ke telinga mereka dari berbagai aspek yang merepotkan.
Gerakan mereka semakin lama semakin meluas, strategi pemerintahan pun mulai diajarkan kepada mereka. Orang-orang terpilih dari musyawarah diberikan kesempatan untuk memegang tampuk kekuasaan. Sejak saat itu, manusia berlomba-lomba untuk mencari dukungan-dukungan suara yang dapat mengangkat mereka ke singgasana kekuasaan.
“Satu lagi....yah...satu lagi...jalan yang terbuka untuk ku sisipkan godaanku. Mereka yang berkuasa dan memegang amanat umat, dapatkah mereka bertahan dengan rayuan emas hasil upeti yang seharusnya untuk kesejahteraan umat manusia???”
Ia yang terkasih dan manusia pilihan kini lemah terbaring dan tidak berdaya. Umatnya merasakan kesedihan yang luar biasa. Mereka semua berkumpul untuk mendengarkan pesan terakhirnya. Ia mengatakan telah menjadi sempurna agama Islam, dan mereka harus mengambil keputusan dengan bermusyawarah.
Sampai akhirnya, ia pun menghembuskan nafas terakhirnya dan meninggalkan istri, anak, dan cucunya yang sangat menyeganinya. Sekalipun ia seorang pemimpin, namun tidak ada harta yang ditinggalkannya untuk sanak famili. Ia sungguh hidup dalam kesederhanaan.
“Semakin mudah saja aku hembuskan kemalasan di ubun-ubun mereka, dan akan ku porak-porandakan kekuatan persaudaraan mereka dengan singgasana kepemimpinan yang terus merajuk dengan iming-iming kekuasaan. Hmmm....sungguh mereka merugi dengan keberuntungan-keberuntungan tersebut.”
 Sungguh mereka semakin terlena dengan kekuasaan tersebut. Mereka berlomba-lomba dan bersaing untuk menduduki tahta, lebih sengit lagi, dan mereka akan berpencar dan saling memusuhi satu sama lain. Musyawarah yang telah ia ajarkan tidak lagi menjadi satu prioritas dalam mengambil keputusan.
Singgasana pun menjadi warisan yang tidak dapat dibawa dalam musyawarah. Nepotisme sudah menjadi tren di kalangan para penguasa. Persoalan bangsa dapat dibahas dan diselesaikan di meja makan, dan kantor kerakyatan pun berubah fungsi menjadi ruang keluarga.
Syukur yang kufur, diberikan kesempatan namun mereka melalaikannya dan akhirnya menyesal. Kekuasaan yang tidak berkuasa, dia akan mudah hancur sekalipun memiliki jutaan prajurit. Kebangsaan yang tidak berbangsa, tidak mengutamakan masyarakat atas segalanya. Kebodohan yang membodohi, melakukan suatu hal tanpa adanya pengetahuan yang menyeliputinya.
“Mereka yang tidak pernah bersyukur, mereka yang bermalas-malasan, mereka yang memperebutkan, mereka yang tidak pernah mau belajar... Bukankah ini suatu kenikmatan yang instan??? Aku jamin mereka akan mengikutiku dengan kenikmatan tersebut. Kecuali mereka-mereka yang selalu hijrah dari empat dimensi tersebut.”

Tangerang, 20 Mei 2012